Senin, 28 Desember 2015

PANDANGAN DUNIA JAWA



       I.            PENDAHULUAN
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terpresentasi dalam bentuk tradisi, baik berupa tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, ataupun kolaborasi dari ketiganya. Tradisi yang berupa hiburan misalnya tari-tarian, nembang, dan masih banyak lagi. Contoh tradisi yang bersifat spiritual yaitu tradisi keraton. Tradisi yang berbau mistik contohnya mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adlah salah satu dari sekian banyak varian kebudayaan Jawa yang mengandung hiburan, spiritual, maupun mistik.
Di dalam pandangan dunia Jawa terdapat empat lingkaran yang bermakna. Yang pertama, sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang keramat serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri secara kental dan kuat dalam lapisan masyarakat desa. Yang kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus (ukhrowi dan adikodrati). Yang ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persan dengan Yang Maha Kodrati. Yang keempat, penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh takdir.
Pandangan dunia Jawa menjelaskan tentang realitas satu kesatuan uth yang memiliki tolak ukur pada kondisi psikis dan pandangan batin masyarakat Jawa. Pada hakikatnya masyarakat Jawa tidak membeda-bedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Sehingga apabila bicara mengenai dunia Jawa, kita membicarakan tentang kepercayaan dan mitos.
Pada masyarakat Jawa, umumnya terdapat pula tradisi-tradisi yang sering dilakukan. Hal ini tidak lepas dari peran kepercayaan yang telah mengakar dalam masyarakat Jawa itu sendiri yakni animisme dan dinamisme.  Tradisi-tradisi tersebut telah terinternalisasi sejak dulu sebelum ajaran Islam masuk ke tanah jawa.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana tradisi masyarakat Jawa?
B.     Bagaimana pandangan dunia Jawa tentang kehidupan?
C.     Apa saja etika-etika masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari?


 III.            PEMBAHASAN
A.       Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun.[1] Macam-Macam Tradisi Jawa :
1.    Bentuk Selametan / Sedekah
Kata ‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang bermakna berderma atau  memberikan sesuatu (biasanya berupa barang) kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan, seperti iba, peduli, atau agar tercipta keakraban antar sesama.
a.    Sedekah bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas budaya yang dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak menyamankan kehidupan sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita warga atau wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari hasil bumi, aktivitas yang bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil peternakan. Seperti pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat yang berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut, petambak, dan petambak yang juga petani.
b.   Sedekah laut
Sedekah laut identik dengan aktifitas budaya yang dilakukan warga masyarakat yang berpenghasilan dan atau berprofesi sebagai pelaut. Lazimnya pelaksanaan sedekah laut menjelang musim panen laut (berdasarkan prediksi pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat desa. Munculnya pelaksanaan sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur kepada Tuhan yang menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan izin) sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan selama mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta interaksi (yang tidak kasat mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi (perantara) keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan), penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais rizki dari laut (nelayan).
2.    Selametan siklus kehidupan
Selametan siklus kehidupan meliputi kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi berupa mengubur ari-ari atau tali pusat (placenta), kematian, fase kehidupan bayi (penguburan ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak perempuan, dan perkawinan.[2]
a.    Ngapati (Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat inilah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan rezekinya, ajalnya, langkah-langkah prilakunya, dan sebagai orang yang celaka atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula hendaklah bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir.
b.   Mitoni (Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7 (tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban, maka diadakan lagi upacara yang biasa disebut mitoni atau tingkepan. Dalam upacara mitoni (tingkepan) ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.[3]
c.    Menindik telinga dan pasang anting anak perempuan
Menindik telinga dan memberi anting bagi anak perempuan pada usia bayi (balita) menjadi tradisi universal. Penentuan usia bayi ditindik tidak sama setiap individu atau daerah, biasanya disertakan ketika prosesi potong puser (puputan) dengan tujuan membedakan identitas asesoris bahwa perempuan identik dengan asesoris tertentu, jika asesoris tertentu tersebut dikenakan pada laki-laki maka dianggap menyimpang tradisi.
d.   Tedhak siten
Tedhak siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah upacara penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa menginjakkan kaki pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak bermakna dekat dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’ yang bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang tua dan keluarganya disongsong dengan doa.
3.    Selametan perkawinan
Termasuk selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen. Kata ‘punjen’ bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk ungkapan yang menyatakan tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang tua berupa menikahkan atau strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan (berkeluarga) oleh orang tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara mudanya. Perkawinan punjen atau tumplak punjen (tumpah), maksudnya menghadirkan keluarga yang tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan, terakhir adalah perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang dinikahkan adalah anak terakhir (laki-laki atau perempuan).
4.    Selametan ulang tahun kematian tokoh
Selametan kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan Kudus, Sunan Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang perlu digali ulang oleh kita. Kata khaul sendiri berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan khaul berarti peringatan genap satu tahun atau peringatan tahunan.[4]
5.    Peringatan hari besar agama
6.    Simbol penghormatan leluhur
a.    Pari joto
Mitos pari joto berkaitan dengan kiprah Sunan Muria yang berperang melawan Dampoawang berasal dari China membawa perahu (sampan)atau kaal berisi bahan obat dan rempah-rempah. Karena pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam ‘pari joto’ menurut sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan Muria, ketika istrinya mengandung dalam usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri diberi nama Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam untuk dijadikan rujak karena terasa asam-pahit (Jawa ; sepet) dan bertepatan ketika Sunan Muria mengarang tembang Kinanthi Pari Joto,sekarang hanya dikenal tembang Kinanthi. Nama tersebut diabadikan oleh pedagang asongan yang berada di seputar wisata Gunung Muria dan makam Sunan Muria. Sunan Muria mengutus santrinya untuk mencarikan obat penghilang mual dan ditemukan bunga atau buah yang diabadikan hingga sekarang dengan nama Parijoto. Jika diurai dari segi penanaman, dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’ karena bunga tersebut menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan simplifikasi dari kata nyoto/nyata (khasiatnya).
b.   Kayu pakis haji
Pakis haji merupakan pohon yang dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk marga cycas dalam genus cycadeae. Pohon ini dimitoskan ketika masyarakat Desa Colo, sekitar Gunung Muria, mendapat wabah serangan hama tikus di lahan persawahannya. Oleh Sunan Muria, pohon tersebut dijadikan media pengusir tikus. Jika dirasionalkan, potongan pohon tersebut jika memanjang bermotif menyerupai ular welang (bermotif batik, kecoklatan), sehingga jika dirasionalkan dapat menakut-nakuti tikus.[5]

B.       Pandangan Dunia Jawa Tentang Kehidupan
Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa yang dimaksud pandangan dunia Jawa ialah pandangan secara keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dialami oleh manusia, sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman.
Manusia dalam hidupnya memandang dunia sebagai sebuah acuan untuk dapat mengerti tentang sebuah kerangka acuan untuk dapat mengerti tentang masing-masing pengalaman yang dilalui. Dalam hal ini, lebih lanjut Suseno menjelaskan yang khas bagi pandangan dunia Jawa adalah realitasnya yang tidak dibagi-bagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa ada hubungan satu sama lain, melainkan dipandang sebagai satu kesatuan. Sebab, pada hakikatnya orang Jawa tidak pernah membeda-bedakan antara sikap religius dan bukan religius, menganggap interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, dan sebaliknya sikap terhadap alam mempunyai relevansi sosial. Bahkan Mulder mengatakan, bahwa pandangan dunia Jawa terhadap pekerjaan, interaksi dan data tidak memiliki perbedaan prinsip yang hakiki.
Pandangan dunia jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat sebagai perwujudan kumpulan keluarga yang besar, terjadinya mula-mula dari keluarga kecil (sendiri), keluarga tetangga, baik dekat maupun yang jauh, dan akhirnya seluruh desa. Lingkungan ini diatur dengan berbagai norma, dan adat sehingga akhirnya nanti setiap anggotanya akan menemukan identitas dan keamanan jiwa. Bila anggota masyarakat terpisah dari aturan tersebut, maka mereka meraaa dikucilkan, sendirian, dan seolah-oleh hidupnya tanpa makna.
Melalui masyarakat mereka merekatkan hubungan dan menjalin persaudaraan, serta berhubungan dengan sang alam. Masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber rasa aman. Begitu pula alam, dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu, indrawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam gaib, yaitu misteri kuasa yang mengelilinginya dan darinya akan diperoleh eksistensinya sebab alam alam merupakan ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupannya yang penting, misalnya kelahiran, puputan, tetesan, khitanan, pernikahan, kehamilan, proses penuaan dan kematian.
Penduduk Jawa yang sederhana (petani) setelah menemukan identitasnya secara kelompok, akan bersama-sama mengarungi hidup yang terus-menerus berhadapan dengan alam sebagai perwujudan pengakuan kepada kekuasaan Illahiah yang menentukan kehidupan seluruhnya. Realita membuktikan bahwa mereka masih mempunyai kepercayaan kalau dibalik keberhasilan dalam panen bukan hanya bergantung pada alam seperti matahari, hujan, angin dan hama tetapi ada kekuatan yang Maha Kuat, yaitu kekuatan Adikodrati.
Pandangan dunia Jawa sebagai wujud kepercayaannya terhadap Adikodrati (Allah), mereka bersikap hormat kepada nenek moyangnya. Mereka mengunjungi makam nenek moyangnya untuk mohon berkah (disamping berdoa) dan juga dalam menghadapi segala persoalan hidup. Orang Jawa menganggap dunia sebagai tempat sumber kesejahteraan. Siapapun dapat meraihnya tergantung dari keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan roh angker. Supaya dapat menarik simpati kekuatan angker (roh-roh berkenan kepadanya), maka pada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu dipasang sesajen. Sesajen terdiri dari sekedar makanan kecil dan bunga yang diletakkan di dalam rumah, kebun dan dipinggir sawah. Doa-doa yang dilafalkan berbentuk bahasa Jawa dan Arab untuk memperoleh perlindungan dari yang mbaureksa.
Khas orang Jawa untuk pekerjaan (gawe) juga berarti pesta. Diperkirakan pada zaman dulu bagi orang Jawa terdapat hubungan erat antara pekerjaan, pesta dan ibadat. Ritual religius yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah slametan, sebab slametan dilakukan hampir pada semua peristiwa penting dalam hidup, yaitu pada waktu kehamilan, kelahiran,perkawinan, kematian, menanam padi, panen, bahkan sampai dengan peristiwa naik pangkat. Pendek kata pada setiap kesempatan.
Slametan terdiri dari sekedar makan bersama dengan mengundang para tetangga, umumnya laki-laki, dengan doa oleh modin. Yang hadir menyantap nasi tumpeng, dan sisanya dibawa pulang untuk diberkat (nasi yang mengandung barakah). Ternyata menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketentraman dan kekuatan gotong-royong.
C.       Etika Orang Jawa
Etika dipahami secara umum sebagai seperangkat aturan tak tertulis yang disepakati bersama yang bertujuan agar manusia melakukan hal-hal atau perbuatan yang dianggap baik, terkadang masyarakat menganggap nya sebagai norma.[6] Etika mempunyai pengaruh dalam aktifitas fisik maupun religius spiritual pada kehidupan manusia. Franz Magnis Suseno mengartikan etika lebih luas lagi yaitukeseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya.
Sebuah pernyataan Mulder tentang pergeseran etika Jawa memang cukup memprihatinkan. Dia yang secara kebetulan mempelajari kejawen, sempat melontarkan tesis bahwa masyarakat Jawa terkosongkan dari kandungan moral (emptied of moral content). Masyarakat Jawa yang telah masa yang steril terhadap moral. Ini merupakan gejala malaise kebudayaan. Malaise adalah kondisi yang tak enak atau gundah terhadap budaya.
Malaise budaya (moral) berarti orang Jawa sedang ada proses pergeseran etika yang luar biasa. Hal ini memang sulit dipungkiri, karena di Jawa sedang terjadi tawar menawar budaya. Budaya lain baik yang mendukung maupun yang meracuni, tetap menggeser sikap dan perilaku. Budaya konsumtitisme materialisme individualisme dan isme-isme lain lain selalu menerjang kehidupan orang Jawa akibatnya etika Jawa yang dulunya amat luhur mulai kehilangan nyalinya. Hal ini tak perlu ditangisi, karena proses perubahan etika itu harus terjadi. Karenanya, tak mengherankan jika kelak muncul etika Jawa yang asli dan juga etika Jawa tiruan (yang terpengaruh).
a.    Etika bagi Wong Gedhe
Etika raja menggambarkan sikap dan perilaku raja sebagai penguasa. Raja harus memiliki 8 sikap yang dikenal dengan istilah Asthabrata, yakni watak delapan dewa. Watak delapan dewa ialah: (1) Endra. Menurunkan keturunan, merata, (2) Yama, menghukum orang yang berdosa, (3) Surya, berhati-hati, pelan-pelan, agar tidak mengalami kesulitan, (4) Candra, baik jika dilihat, banyak tawa, manis, (5) Bayu, mengintai segala perilaku, (6) Kuwera, bersikap asih, memberikan pakaian indah,  tidak semena-mena, (7) Baruna, menghakimi durjana, teliti dalam mengadili, (8) Brama, membakar yang tidak berbuat baik. Etika lain bagi seorang raja, ialah bahwa seorang raja itu harus mengetahui untung dan celaka atau nasib rakyatnya. Bila raja menjatuhkan hukuman, maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang kedudukan terhukum.
Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati etika, antara lain: (a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku, (c) mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama hidup. Dari pesan ini terkandung makna simbolik bahwa seorang pemimpin harus bisa menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngrasa sung tuladha bagi bawahan-bawahannya. Pesan filosofi yang termuat dalam penafsiran di atas adalah bahwa pimpinan adalah badaling Hyang widhi. Pimpinan wajib membudidayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repot negara bisa diatasi. Ini semua akan terwujud jika terjadi Manunggaling Kawula Gusti.
b.    Etika bagi wong cilik
Alam kaitannya hubungan sosial antara bawahan (abdi) kepada raja (wong gedhe), memilki etika khas. Jika bawahan berhasil menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut meliputi bawahan harus menjalankan: (a) mengikuti wiradat (upaya sendiri), mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi, (b) rajin bekerja, (c) membantu menjaga kententraman negara, (d) menjaga negara agar tidak rugi, (e) ikut menjaga negara jika dalam bahaya, (f) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain.
Etika mengabdi kepada raja, jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi mudah naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat Panitisastra, “kalawan wong wus limpad wredining, sastra iku ngresepaken manah, ing raja glis pangundange”. Artinya apabila bawahan tahu sastra (etika) akan dianggap memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan diangkat kedudukannya. Itulah sebabnya, cara duduk, cara kerja, keberanian, dan segala kepandaiannya akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun yang menjadi aturan raja hendaknya ditaati karena raja adalah wakil Tuhan. Bawahan juga harus bersikap jujur di hadapan raja. Kalaupun harus dibunuh oleh raja karena dipersalahkan atas kejujurannya, ia akan masuk surga.
c.    Etika anak dan istri
Seorang anak diharapkan berpegang pada etika, antara lain: (a) ingat (eling) terhadap perjuangan leluhurnya (ayahnya) dan percaya diri, (b) mendo’akan anak-ananknya, semoga anaknya bisa meneruskan perjuangan orangtuanya, (c) memberikan pertimbangan tentang pernikahan anaknya, yani harus mendapatkan jodoh yang seimbang kedudukannya, (d) harus memiliki rumah atas ushanya sendiri, (e) harus memiliki kedudukan yang pasti, (f) sudah mempunyai kebiwaan yang besar, (g) hendaknya bersikap narima ing pandum, menerima pemberian Tuhan denga ikhlas dan (h) selalu bersyukur.[7]
Etika bagi wanita ada beberapa hal, baik dalam hubungan masyarakat secara umum maupun dalam keluarga. Etika dalam masyarakat umum yaitu berhati-hati, sikap hemat, menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan dan dirahkan ke hal yang baik. Hubungan denga suami hendaknya; rajin, menghindari perilaku cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi, mempertimbangkan berbagai hal.
Wanita bisa menjadi pemimpin, setidaknya menggantikan suami bila sedang tida ada di rumah. Ada 3 hal kewajiban istri yang utama yaitu wedi, gemi, dan gumati. Wedi (takut) artinya jangan menyangkal pembicaraan atau menolak suruhan suami, gemi (hemat) artinya jangan boros, gumati (setia) artinya cinta kepada semua yang disukai suami dan menyediakannya.

   IV.          KESIMPULAN
Masyarakat Jawa kaya akan tradisi. Hampir dalam setiap sendi-sendi kehidupannya, masyarakat Jawa amat kental dengan tradisi. Bahkan dalam proses kehidupan manusia, semuanya dilingkupi dengan tradisi. Dari dalam kandungan, kelahiran, pertumbuhan, perkawinan, hingga kematian, semuanya dibungkus dalam bingkai tradisi.
Dalam hal kepercayaan, masyarakat Jawa identik dengan kejawenannya. Kejawen memuat nilai-nilai peninggalan leluhur, yang ditaati dan kalau ditinggalkan ada perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen tidak dapat diukur dari dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat yang beretika. etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Dunia Jawa begitu mengatur tingkah laku masyarakatnya, masing-masing memeliki etika sendiri-sendiri, dari mulai raja hingga rakyat jelata.
Masyarakat Jawa memiliki pedoman hidup yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Masyarakat Jawa memiliki pola pikir dan falsafah hidup yang sarat akan makna. Falsafah-falsafah Jawa banyak yang diabadikan dalam sebuah karya seni yang kebanyakan dalam bentuk sastra yang disebut dengan serat.
                                      


[1] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994, hlm. 433.
[2] Moh. Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 103-105.
[3] M.Afnan Chafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam, Cetakan IV, Surabaya : Khalista, 2009, hlm. 6-8
[4] Muhammad Solikhin, Ritual & Tradisi Islam Jawa,( Jakarta: PT Suka Buku, 2010), hlm.432
[5] Moh.Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 106-109.
[6] Shodiq, Potret Islam Jawa, (semarang: pustaka zaman:2002), hlm.95

[7] Firdha Naili Fitriyani, pandangan dunia jawa, http://firdhanaili.blogspot.co.id/2013/04/pandangan-dunia-jawa.html, diakses pada 19 oktober 2015, jam 21.32 WIB

DAFTAR PUSTAKA
Chafidh, M.Afnan  dan Asrori, A. Ma’ruf,Tradisi Islam, Cetakan IV,Tradisi Islam, Surabaya : Khalista, 2009.
Firdha Naili Fitriyani, pandangan dunia jawa, http://firdhanaili.blogspot.co.id/2013/04/pandangan-dunia-jawa.html, diakses pada 19 oktober 2015, jam 21.32 WIB
Rosyid, Moh, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I,Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009.
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: pustaka zaman, 2002.
Solikhin , Muhammad, Ritual & Tradisi Islam Jawa,  Jakarta: PT Suka Buku, 2010
Yuwono, Trisno, Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994