I.
PENDAHULUAN
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terpresentasi dalam bentuk
tradisi, baik berupa tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau
mistik, ataupun kolaborasi dari ketiganya. Tradisi yang berupa hiburan misalnya
tari-tarian, nembang, dan masih banyak lagi. Contoh tradisi yang
bersifat spiritual yaitu tradisi keraton. Tradisi yang berbau mistik contohnya
mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adlah salah satu dari
sekian banyak varian kebudayaan Jawa yang mengandung hiburan, spiritual, maupun
mistik.
Di dalam pandangan dunia Jawa terdapat empat lingkaran yang bermakna. Yang
pertama, sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan
ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang keramat serta
dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi
batin sendiri secara kental dan kuat dalam lapisan masyarakat desa. Yang kedua,
memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus (ukhrowi dan
adikodrati). Yang ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai
jalan ke persan dengan Yang Maha Kodrati. Yang keempat, penentuan semua
lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi, oleh takdir.
Pandangan dunia Jawa menjelaskan tentang realitas satu kesatuan uth yang
memiliki tolak ukur pada kondisi psikis dan pandangan batin masyarakat Jawa.
Pada hakikatnya masyarakat Jawa tidak membeda-bedakan antara sikap-sikap
religius dan bukan religius. Sehingga apabila bicara mengenai dunia Jawa, kita
membicarakan tentang kepercayaan dan mitos.
Pada masyarakat Jawa, umumnya terdapat pula tradisi-tradisi yang sering dilakukan.
Hal ini tidak lepas dari peran kepercayaan yang telah mengakar dalam masyarakat
Jawa itu sendiri yakni animisme dan dinamisme. Tradisi-tradisi tersebut telah
terinternalisasi sejak dulu sebelum ajaran Islam masuk ke tanah jawa.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana tradisi masyarakat Jawa?
B.
Bagaimana pandangan dunia Jawa tentang kehidupan?
C. Apa saja etika-etika masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi
berarti adat kebiasaan yang turun temurun.[1] Macam-Macam Tradisi Jawa :
1. Bentuk Selametan / Sedekah
Kata ‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang
bermakna berderma atau memberikan
sesuatu (biasanya berupa barang) kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan,
seperti iba, peduli, atau agar tercipta keakraban antar sesama.
a.
Sedekah
bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas budaya yang
dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan
setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak menyamankan kehidupan
sosialnya. Sepeti musibah berupa
penyakit yang diderita warga atau wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’
diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya yang bernuansa agamis karena
mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari hasil bumi, aktivitas yang
bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil peternakan. Seperti
pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat
yang berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut, petambak, dan petambak
yang juga petani.
b.
Sedekah laut
Sedekah laut identik dengan aktifitas budaya yang dilakukan warga
masyarakat yang berpenghasilan dan atau berprofesi sebagai pelaut. Lazimnya
pelaksanaan sedekah laut menjelang musim panen laut (berdasarkan prediksi
pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan bersama
peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat desa. Munculnya pelaksanaan
sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur kepada Tuhan yang
menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan izin)
sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan
selama mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut
dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni
pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi
antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta interaksi (yang tidak kasat
mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi (perantara)
keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan),
penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais
rizki dari laut (nelayan).
2. Selametan siklus
kehidupan
Selametan siklus kehidupan meliputi kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi
berupa mengubur ari-ari atau tali pusat (placenta), kematian, fase kehidupan
bayi (penguburan ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak
perempuan, dan perkawinan.[2]
a. Ngapati (Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) dimulailah kehidupan
dengan ruh, dan saat inilah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya,
di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan rezekinya, ajalnya, langkah-langkah
prilakunya, dan sebagai orang yang celaka atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan
upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur,
ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak
lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rizki
yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah,
beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula hendaklah
bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa
menembus takdir.
b. Mitoni (Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7 (tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan
dirasakan sudah berbobot dan berbeban, maka diadakan lagi upacara yang biasa
disebut mitoni atau tingkepan. Dalam upacara mitoni
(tingkepan) ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa, dengan
harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu
dalam kebaikan kelak di dunia.[3]
c. Menindik telinga dan
pasang anting anak perempuan
Menindik telinga dan memberi anting bagi anak perempuan pada usia bayi
(balita) menjadi tradisi universal. Penentuan usia bayi ditindik tidak sama
setiap individu atau daerah, biasanya disertakan ketika prosesi potong puser
(puputan) dengan tujuan membedakan identitas asesoris bahwa perempuan identik
dengan asesoris tertentu, jika asesoris tertentu tersebut dikenakan pada
laki-laki maka dianggap menyimpang tradisi.
d. Tedhak siten
Tedhak siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah upacara penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa
menginjakkan kaki pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak
bermakna dekat dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’
yang bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang
tua dan keluarganya disongsong dengan doa.
3.
Selametan perkawinan
Termasuk selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen.
Kata ‘punjen’ bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk
ungkapan yang menyatakan tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang
tua berupa menikahkan atau strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan
(berkeluarga) oleh orang tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara
mudanya. Perkawinan punjen atau tumplak punjen (tumpah),
maksudnya menghadirkan keluarga yang tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan,
terakhir adalah perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang
dinikahkan adalah anak terakhir (laki-laki atau perempuan).
4.
Selametan ulang tahun kematian tokoh
Selametan kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan
Kudus, Sunan Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang
perlu digali ulang oleh kita. Kata khaul sendiri berasal dari bahasa
Arab, artinya setahun. Peringatan khaul berarti peringatan genap satu tahun
atau peringatan tahunan.[4]
5. Peringatan hari besar
agama
6. Simbol penghormatan
leluhur
a. Pari joto
Mitos pari joto berkaitan dengan kiprah Sunan Muria yang berperang
melawan Dampoawang berasal dari China membawa perahu (sampan)atau kaal berisi
bahan obat dan rempah-rempah. Karena pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan
dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam ‘pari joto’ menurut sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan
Muria, ketika istrinya mengandung dalam usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri
diberi nama Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam untuk dijadikan rujak karena
terasa asam-pahit (Jawa ; sepet) dan bertepatan ketika Sunan Muria mengarang
tembang Kinanthi Pari Joto,sekarang hanya dikenal tembang Kinanthi.
Nama tersebut diabadikan oleh pedagang asongan yang berada di seputar wisata
Gunung Muria dan makam Sunan Muria. Sunan Muria mengutus santrinya untuk
mencarikan obat penghilang mual dan ditemukan bunga atau buah yang diabadikan
hingga sekarang dengan nama Parijoto. Jika diurai dari segi penanaman,
dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’ karena bunga tersebut
menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan simplifikasi dari kata nyoto/nyata
(khasiatnya).
b. Kayu pakis haji
Pakis haji merupakan pohon yang dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk
marga cycas dalam genus cycadeae. Pohon ini dimitoskan ketika
masyarakat Desa Colo, sekitar Gunung Muria, mendapat wabah serangan hama tikus
di lahan persawahannya. Oleh Sunan Muria, pohon tersebut dijadikan media
pengusir tikus. Jika dirasionalkan, potongan pohon tersebut jika memanjang
bermotif menyerupai ular welang (bermotif batik, kecoklatan), sehingga jika
dirasionalkan dapat menakut-nakuti tikus.[5]
B.
Pandangan Dunia Jawa Tentang Kehidupan
Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa yang dimaksud pandangan dunia Jawa
ialah pandangan secara keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realita
kehidupan yang dialami oleh manusia, sangat bermakna dan diperoleh dari
berbagai pengalaman.
Manusia dalam hidupnya memandang dunia sebagai sebuah acuan untuk dapat
mengerti tentang sebuah kerangka acuan untuk dapat mengerti tentang
masing-masing pengalaman yang dilalui. Dalam hal ini, lebih lanjut Suseno
menjelaskan yang khas bagi pandangan dunia Jawa adalah realitasnya yang tidak
dibagi-bagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa ada hubungan
satu sama lain, melainkan dipandang sebagai satu kesatuan. Sebab, pada
hakikatnya orang Jawa tidak pernah membeda-bedakan antara sikap religius dan
bukan religius, menganggap interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap
alam, dan sebaliknya sikap terhadap alam mempunyai relevansi sosial. Bahkan
Mulder mengatakan, bahwa pandangan dunia Jawa terhadap pekerjaan, interaksi dan
data tidak memiliki perbedaan prinsip yang hakiki.
Pandangan dunia jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat
dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat sebagai
perwujudan kumpulan keluarga yang besar, terjadinya mula-mula dari keluarga
kecil (sendiri), keluarga tetangga, baik dekat maupun yang jauh, dan akhirnya
seluruh desa. Lingkungan ini diatur dengan berbagai norma, dan adat sehingga
akhirnya nanti setiap anggotanya akan menemukan identitas dan keamanan jiwa.
Bila anggota masyarakat terpisah dari aturan tersebut, maka mereka meraaa
dikucilkan, sendirian, dan seolah-oleh hidupnya tanpa makna.
Melalui masyarakat mereka merekatkan hubungan dan menjalin persaudaraan,
serta berhubungan dengan sang alam. Masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber
rasa aman. Begitu pula alam, dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan
keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu, indrawi bagi orang Jawa
merupakan ungkapan alam gaib, yaitu misteri kuasa yang mengelilinginya dan
darinya akan diperoleh eksistensinya sebab alam alam merupakan ungkapan
kekuasaan yang menentukan kehidupannya yang penting, misalnya kelahiran,
puputan, tetesan, khitanan, pernikahan, kehamilan, proses penuaan dan kematian.
Penduduk
Jawa yang sederhana (petani) setelah menemukan identitasnya secara kelompok,
akan bersama-sama mengarungi hidup yang terus-menerus berhadapan dengan alam
sebagai perwujudan pengakuan kepada kekuasaan Illahiah yang menentukan
kehidupan seluruhnya. Realita membuktikan bahwa mereka masih mempunyai
kepercayaan kalau dibalik keberhasilan dalam panen bukan hanya bergantung pada
alam seperti matahari, hujan, angin dan hama tetapi ada kekuatan yang Maha
Kuat, yaitu kekuatan Adikodrati.
Pandangan dunia Jawa sebagai wujud kepercayaannya terhadap Adikodrati
(Allah), mereka bersikap hormat kepada nenek moyangnya. Mereka mengunjungi
makam nenek moyangnya untuk mohon berkah (disamping berdoa) dan juga dalam
menghadapi segala persoalan hidup. Orang Jawa menganggap dunia sebagai tempat
sumber kesejahteraan. Siapapun dapat meraihnya tergantung dari keberhasilannya
dalam menyesuaikan diri dengan roh angker. Supaya dapat menarik simpati
kekuatan angker (roh-roh berkenan kepadanya), maka pada waktu-waktu
tertentu dan tempat-tempat tertentu dipasang sesajen. Sesajen terdiri dari
sekedar makanan kecil dan bunga yang diletakkan di dalam rumah, kebun dan
dipinggir sawah. Doa-doa yang dilafalkan berbentuk bahasa Jawa dan Arab untuk
memperoleh perlindungan dari yang mbaureksa.
Khas orang Jawa untuk pekerjaan (gawe) juga berarti pesta.
Diperkirakan pada zaman dulu bagi orang Jawa terdapat hubungan erat antara
pekerjaan, pesta dan ibadat. Ritual religius yang dilakukan oleh masyarakat
Jawa adalah slametan, sebab slametan dilakukan hampir pada semua
peristiwa penting dalam hidup, yaitu pada waktu kehamilan,
kelahiran,perkawinan, kematian, menanam padi, panen, bahkan sampai dengan
peristiwa naik pangkat. Pendek kata pada setiap kesempatan.
Slametan terdiri dari sekedar
makan bersama dengan mengundang para tetangga, umumnya laki-laki, dengan doa
oleh modin. Yang hadir menyantap nasi tumpeng, dan sisanya dibawa pulang untuk
diberkat (nasi yang mengandung barakah). Ternyata menurut pandangan dunia Jawa slametan
itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketentraman
dan kekuatan gotong-royong.
C. Etika Orang Jawa
Etika dipahami secara umum sebagai seperangkat
aturan tak tertulis yang disepakati bersama yang bertujuan agar manusia
melakukan hal-hal atau perbuatan yang dianggap baik, terkadang masyarakat
menganggap nya sebagai norma.[6]
Etika mempunyai pengaruh dalam aktifitas fisik maupun religius spiritual pada
kehidupan manusia. Franz Magnis Suseno mengartikan etika lebih luas lagi
yaitukeseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya.
Sebuah pernyataan Mulder tentang pergeseran etika
Jawa memang cukup memprihatinkan. Dia yang secara kebetulan mempelajari kejawen,
sempat melontarkan tesis bahwa masyarakat Jawa terkosongkan dari kandungan
moral (emptied of moral content). Masyarakat Jawa yang telah masa yang
steril terhadap moral. Ini merupakan gejala malaise kebudayaan. Malaise
adalah kondisi yang tak enak atau gundah terhadap budaya.
Malaise budaya (moral) berarti orang Jawa sedang ada
proses pergeseran etika yang luar biasa. Hal ini memang sulit dipungkiri,
karena di Jawa sedang terjadi tawar menawar budaya. Budaya lain baik yang
mendukung maupun yang meracuni, tetap menggeser sikap dan perilaku. Budaya
konsumtitisme materialisme individualisme dan isme-isme lain lain selalu
menerjang kehidupan orang Jawa akibatnya etika Jawa yang dulunya amat luhur
mulai kehilangan nyalinya. Hal ini tak perlu ditangisi, karena proses perubahan
etika itu harus terjadi. Karenanya, tak mengherankan jika kelak muncul etika
Jawa yang asli dan juga etika Jawa tiruan (yang terpengaruh).
a.
Etika bagi Wong Gedhe
Etika raja menggambarkan sikap dan perilaku raja
sebagai penguasa. Raja harus memiliki 8 sikap yang dikenal dengan istilah Asthabrata,
yakni watak delapan dewa. Watak delapan dewa ialah: (1) Endra.
Menurunkan keturunan, merata, (2) Yama, menghukum orang yang berdosa,
(3) Surya, berhati-hati, pelan-pelan, agar tidak mengalami kesulitan,
(4) Candra, baik jika dilihat, banyak tawa, manis, (5) Bayu,
mengintai segala perilaku, (6) Kuwera, bersikap asih, memberikan pakaian
indah, tidak semena-mena, (7) Baruna,
menghakimi durjana, teliti dalam mengadili, (8) Brama, membakar yang
tidak berbuat baik. Etika lain bagi seorang raja, ialah bahwa seorang raja itu
harus mengetahui untung dan celaka atau nasib rakyatnya. Bila raja menjatuhkan
hukuman, maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang
kedudukan terhukum.
Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati
etika, antara lain: (a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku,
(c) mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama
hidup. Dari pesan ini terkandung makna simbolik bahwa seorang pemimpin harus
bisa menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngrasa sung tuladha bagi
bawahan-bawahannya. Pesan filosofi yang termuat dalam penafsiran di atas adalah
bahwa pimpinan adalah badaling Hyang widhi. Pimpinan wajib
membudidayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repot negara
bisa diatasi. Ini semua akan terwujud jika terjadi Manunggaling Kawula Gusti.
b.
Etika bagi wong cilik
Alam kaitannya hubungan sosial antara bawahan (abdi)
kepada raja (wong gedhe), memilki etika khas. Jika bawahan berhasil
menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut
meliputi bawahan harus menjalankan: (a) mengikuti wiradat (upaya
sendiri), mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi
dan kondisi, (b) rajin bekerja, (c) membantu menjaga kententraman negara, (d)
menjaga negara agar tidak rugi, (e) ikut menjaga negara jika dalam bahaya, (f)
jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain.
Etika mengabdi kepada
raja, jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi mudah naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat
Panitisastra, “kalawan wong wus limpad wredining, sastra iku ngresepaken manah,
ing raja glis pangundange”. Artinya apabila bawahan tahu sastra (etika)
akan dianggap memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan
diangkat kedudukannya. Itulah sebabnya, cara duduk, cara kerja, keberanian, dan
segala kepandaiannya akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun
yang menjadi aturan raja hendaknya ditaati karena raja adalah wakil Tuhan.
Bawahan juga harus bersikap jujur di hadapan raja. Kalaupun harus dibunuh oleh
raja karena dipersalahkan atas kejujurannya, ia akan masuk surga.
c.
Etika anak dan istri
Seorang anak diharapkan
berpegang pada etika, antara lain: (a) ingat (eling) terhadap perjuangan
leluhurnya (ayahnya) dan percaya diri, (b) mendo’akan anak-ananknya, semoga
anaknya bisa meneruskan perjuangan orangtuanya, (c) memberikan pertimbangan
tentang pernikahan anaknya, yani harus mendapatkan jodoh yang seimbang
kedudukannya, (d) harus memiliki rumah atas ushanya sendiri, (e) harus memiliki
kedudukan yang pasti, (f) sudah mempunyai kebiwaan yang besar, (g) hendaknya
bersikap narima ing pandum, menerima pemberian Tuhan denga ikhlas dan
(h) selalu bersyukur.[7]
Etika bagi wanita ada beberapa hal, baik dalam hubungan
masyarakat secara umum maupun dalam keluarga. Etika dalam masyarakat umum yaitu
berhati-hati, sikap hemat, menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan
dan dirahkan ke hal yang baik. Hubungan denga suami hendaknya; rajin,
menghindari perilaku cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi,
mempertimbangkan berbagai hal.
Wanita bisa menjadi pemimpin, setidaknya
menggantikan suami bila sedang tida ada di rumah. Ada 3 hal kewajiban istri
yang utama yaitu wedi, gemi, dan gumati. Wedi (takut) artinya jangan
menyangkal pembicaraan atau menolak suruhan suami, gemi (hemat) artinya
jangan boros, gumati (setia) artinya cinta kepada semua yang disukai
suami dan menyediakannya.
IV.
KESIMPULAN
Masyarakat Jawa kaya akan tradisi. Hampir dalam setiap
sendi-sendi kehidupannya, masyarakat Jawa amat kental dengan tradisi. Bahkan
dalam proses kehidupan manusia, semuanya dilingkupi dengan tradisi. Dari dalam
kandungan, kelahiran, pertumbuhan, perkawinan, hingga kematian, semuanya
dibungkus dalam bingkai tradisi.
Dalam hal kepercayaan, masyarakat Jawa identik dengan kejawenannya.
Kejawen memuat nilai-nilai peninggalan leluhur, yang
ditaati dan kalau ditinggalkan ada perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen
tidak dapat diukur dari dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Masyarakat Jawa juga
merupakan masyarakat yang beretika. etika Jawa adalah keseluruhan norma dan
penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan
hidupnya. Dunia Jawa begitu mengatur tingkah laku masyarakatnya, masing-masing
memeliki etika sendiri-sendiri, dari mulai raja hingga rakyat jelata.
Masyarakat Jawa memiliki
pedoman hidup yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya.
Masyarakat Jawa memiliki pola pikir dan falsafah hidup yang sarat akan makna.
Falsafah-falsafah Jawa banyak yang diabadikan dalam sebuah karya seni yang
kebanyakan dalam bentuk sastra yang disebut dengan serat.
[1] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994, hlm. 433.
[2] Moh. Rosyid, Kebudayaan dan
Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 103-105.
[3] M.Afnan Chafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi
Islam, Cetakan IV, Surabaya : Khalista, 2009, hlm. 6-8
[4] Muhammad Solikhin, Ritual & Tradisi Islam Jawa,( Jakarta: PT
Suka Buku, 2010), hlm.432
[6] Shodiq, Potret Islam Jawa, (semarang: pustaka zaman:2002),
hlm.95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar